Selasa, 19 Januari 2010

INTEGRASI ABRI

DAN PENINGKATAN DWI FUNGSI ABRI

( Rangkuman )


A. Pendahuluan

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai bagian-bagian dari Bab/Pokok Bahasan “Integrasi ABRI dan Peningkatan Dwifungsinya”, alangkah lebih baik kita meninjau makna dari tiap kata yang terangkai dalam kalimat yang menjadi tema di atas.

“Integrasi” artinya menjadi satu, menggabung, penggabungan dari beberapa bagian menjadi satu.

“Integritas” artinya kebulatan, keterpaduan, keutuhan.

“Integral” artinya mengenai keseluruhannya, utuh, bulat, seantero.

“Integralistik” artinya bersifat integral.

(HassanMasoeki, 1997 :196)

ABRI singkatan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, yang terdiri dari TNI-AD, TNI-AL, TNI-AD, dan POLRI. Keempat angkatan tersebut dipimpin oleh seorang Panglima ABRI.

Pada awal kelahirannya (mulai 5 Oktober 1945) hingga awal era Orde Baru, ABRI bersifat profesional, artinya mereka bertindak sebagai pekerja profesi di bidang pertahanan dan keamanan, pengawal dan penjaga keamanan

1

2

dalam negeri dari berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang mengancam kehidupan rakyat, pemerintah, dan bangsa Indonesia.

“Dwifungsi ABRI” mengandung arti bahwa ABRI mempunyai dua tugas, yakni sebagai militer, dan juga sebagai sipil. (Hassan Masdoeki, 1997 : 105) Dengan kata lain, disamping sebagai kekuatan pengamanan (stabilisator), juga bertindak sebagai kekuatan penggerak pembangunan masyarakat (dinamisator).

Dalam perjalanan sejarahnya, ABRI di masa Orde Baru mulai mengefektifkan kegiatan Dwifungsinya, walaupun sebenarnya mereka sudah menyatu dengan masyarakat semenjak berdiri dan berjuang mempertahankan kemerdekaan. Namun pada masa Orde Baru, malah dijadikan alat politik oleh penguasa. Banyak peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat (demonstrasi, kriminal, kritik terhadap pemerintah) dihadapi pemerintah dengan tindakan refresif.

Jenderal TNI (Purn.) Abdul Haris Nasution, Letnan Jenderal TNI (Purn.-Marinir) Ali Sadikin, Letnan Jenderal TNI (Purn) HR. Darsono, Jenderal Polisi (Purn.) Hoegeng Iman Santoso dan 46 kawan-kawannya yang tergabung dalam “Petisi 50” menilai bahwa Dwifungsi ABRI telah keluar dari relnya, telah melenceng dari tujuan semula (membantu rakyat membangun bangsa). Para perwira ABRI malah larut dalam kegiatan birokrasi (seperti menjadi gubernur, dan bupati), juga menjadi pengusaha/konglomerat, sehingga ia lupa pada profesi utamanya sebagai petugas keamanan bangsa.

3

Pasca kejatuhan rezim Soeharto (Orde Baru), ABRI kembali ke barak, (Back to Basic), dan istilahnya pun dikembalikan menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan POLRI yang terpisah. Keduanya dipimpin oleh Panglima TNI dan Kapolri. Bahkan pada era pemerintahan SBY-YUSUF KALLA nanti (yang menurut quic count akan menang), tidak ada lagi wakil mereka di MPR. ABRI telah ikhlas meninggalkan politik praktisnya, yang telah sekian lama terdidik oleh rezim Orde Baru.

DI bawah ini akan diuraikan mengenai beberapa langkah kegiatan pengintegrasian ABRI.

A. Integrasi Mental sebagai Titik Tolak

Masalah integrasi ABRI sebenarnya bukan merupakan masalah baru, karena ABRI lahir secara terintegrasi dengan dasar dan tujuan penggerak yang telah mencetuskannya, dan membela Proklamasi dan UUD 1945 dalam memenuhi cita-cita bangsa. Saptamarga dan Sumpah Prajurit merupakan kode etik untuk prajurit ABRI. Azas ini lebih menjamin bagi terarahnya setiap kegiatan pendidikan terutama dalam rangka pembentukan mental, moral dan moril.

Pelaksanaan organisasi AKABRI (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dilakukan dalam tiga tahap, yaitu :

a. Tahap integrasi parsial I, 1967 – 1968.

b. Tahap integrasi parsial II, 1969 – 1971.

c. Tahap integrasi total.

4

Tahap pertama ialah penyatuan Akademi-akademi Angkatan menjadi AKABRI yang terdiri dari AKABRI bagian umum, AKABRI bagian Laut, AKABRI bagian Udara dan AKABRI bagian Kepolisian. Melepas Akademi Angkatan tidak dilakukan secara langsung ke dalam organisasi Akabri, sebab akan dapat menimbulkan kesulitan dalam pembinaan dan administrasinya. Dalam tahap ini masih tampak adanya garis komando yang jelas dari masing-masing Menteri/Panglima Angkatan ke Akademi masing-masing, sedang dari Wakil Perdana Menteri (Waperdam) Hankam dan Komandan Jenderal AKABRI terdapat garis koordinasi teknis. Organisasi tahap ketiga akan dibentuk setelah adanya integrasi total keempat Akademi akan dikumpulkan ke dalam satu kompleks.

Pada tanggal 5 Oktober 1966 dengan mengambil tempat di Lapangan Parkir Timur Senayan, Jakarta, Presiden menyatakan dengan resmi berdirinya AKABRI dan melantik Komandan Jenderal AKABRI yang pertama Laksamana Muda (L) Rachmat Sumengkar dan Wakil Komandan Jenderal AKABRI Laksamana Muda (U) atau Marsekal Muda TNI Suharnoko Harbani. Presiden menganugerahkan panji-panji AKABRI yang memuat semboyan Bhinneka Eka Bhakti. Sedangkan pada tanggal 29 Januari 1967 diresmikan AKABRI Bagian Umum dengan mengambil tempat di AKABRI bagian Darat, Magelang. Peresmian inimerupakan permulaan tahun akademi dan sekaligus merupakan parsial tahap pertama. Dengan demikian AKABRI sebagai lembaga pendidikan mempunyai bagian - bagiannya yakni AKABRI bagian umum berpusat di

5

Magelang, AKABRI bagian Darat diMagelang, AKABRI bagian Lautdi Surabaya, AKABRI bagian Udara di Yogyakarta dan AKABRI bagian Kepolisian di Sukabumi.

DI dalam perkembangan selanjutnya tahun akademi AKABRI diperpanjang dari tiga menjadi empat tahun. Selain itu diputuskan pula pelaksanaan pembangunan AKABRI “di bawah satu atap” tahap demi tahap, dan merupakan sasaran jangka panjang.

Pada pendidikan lanjutan perwira, integrasi dimulai pada tanggal 28 Desember 1963 dalam taraf Afiliasi Antar Sekolah Staf dan Komando (Sesko) yang kemudian menjadi Dewan Antar Sesko diketuai oleh Mayor Jenderal Suwarto. Tugas dewan adalah pembinaan Afiliasi di bidang instruksi, penelitian dan pengembangan kurikulum gabungan. Selanjutnya dalam bulan Maret 1968 dibentuk Lembaga Pendidikan Staf dan Komando Gabungan (Lemdikskogab) dengan Perwira Proyek Laksamana Muda K. Djaelani.

Sebelum secara resmi Sesko-sesko Angkatan/Polri diintegrasikan ke dalam wadah Sesko ABRI pada bulan Mei 1974, pada dasarnya tiap-tiap Sesko Angkatan/Polri tersebut berdiri sendiri langsung di bawah kendali masing-masing Angkatan/Polri, baik pembinaan administrasi, personil, materiil, keuangan maupun operasi pendidikannya. Kemudian berdasarkan Surat Perintah Menhankam/Pangab No. Sprin/B/92/III/1974 tanggal 28 Maret 1974 wewenang kendali Operasi Pendidikan Sesko-sesko Angkatan/Polri diserah terimakan dari para Kepala Staf Angkatan/Polri kepada Komandan Jenderal

6

Sesko-ABRI. Secara berangsur-angsur proporsi kedudukan sesko-sesko Angkatan/Polri semakin terarah dan mantap.

Adapun fungsi utama Sesko ABRI adalah :

  1. Menyelenggarakan pendidikan karier tertinggi bagi perwira-perwira ABRI terpilih, untuk penugasan sebagaimana dinyatakan di dalam tugas-tugas pokok Sesko ABRI.
  2. Menyelenggarakan dan melaksanakan kegiatan, usaha dan pekerjaan untuk mengembangkan doktrin Angkatan/Gabungan serta doktrin “Hankamnas” dan doktrin perjuangan ABRI “Catur Darma Eka Karma”.

Nilai Hakiki yang digunakan untuk mengembangkan pendidikan Sesko ABRI pada hakikatnya bersumber pada sasaran pendidikan yaitumendidik calon pemimpin-pemimpin pejuang ABRI yang tangguh, tanggap dan trampil. Memiliki sikap mental yang baik, serta dilandasi falsafah “Bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta damai, akan tetapi lebih cinta kemerdekaan”.

B. Integrasi Doktrin dan Struktur

Pendekatan kedua yang ditempuh dalam mencapai integrasi ABRI ialah pendekatan doktrin, melalui penyusunan dan penyempurnaan doktrin-doktrin dasar Angkatan-angkatan dan Polisi menjadi hanya satu doktrin dasar ABRI saja, yakni Doktrin Hankamnas dan Doktrin Perjuangan ABRI “Catur Darma Eka Karma” (Empat Pengabdian dengan Satu Perbuatan Suci), yang secara umum

7

kurang lebih berarti meskipun tugas pokok ABRI bersifat empat matra (dimensi) akan tetapi pada hakikatnya merupakan satu karma atau satu perbuatan suci yang wajib diperjuangkan secara bersama dan bersatu untuk kepentingan rakyat.

Sejak seminar pertama TNI-AD yang diselenggarakan 6 bulan sebelum meletusnya G. 30 S/PKI menghasilkan doktrin “Tri Ubaya Cakti” (Tiga Tekad Sakti), dan beberapa saat kemudian muncul pula doktrin-doktrin dari Angkatan lain. TNI-AL muncul dengan nama “Eka Casana Jaya” (Satu Doktrin yang menang), TNI-AU dengan doktrin “Swa Bhuana Paksa” (Sayap Tanah Air) dan Polri dengan doktrin “Tata Tentrem Kerta Rahardja”. Dengan doktrin-doktrin itu TNI-AD menonjolkan wawasan buana, TNI-AL menitikberatkan wawasan bahari, TNI-AU menekankan pada wawasan dirgantara.

Atas prakarsa pimpinan Hankam, pada tanggal 21 September sampai 17 Oktober 1966 diadakan Pra Seminar Hankam yang merupakan langkah persiapan menuju ke Seminar Hankam. Pada bulan berikutnya Pra Seminar ditingkatkan menjadi Seminar Hankam, diselenggarakan dari tanggal 12 hingga 21 November 1966 dengan mengambil tempat di gedung lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), Jakarta. Seminar dipimpin oleh Kepala Staf Hankam Mayor Jenderal M.M. Rachmat Kartakusuma sebagai ketua Seminar dan Laksamana Muda Subijakto, Deputy Strategi Hankam, sebagai wakil ketua.

Berkat jiwa integrasi yang telah mulai tumbuh di kalangan ABRI, seminar berhasil mencetuskan Doktrin Pertahanan Keamanan Nasional dan

8

Doktrin Perjuangan ABRI yang bernama Catur Darma Eka Karma serta Wawasan Nusantara Bahari.

Untuk pertama kali landasan-landasan pengorganisasian dan penstrukturan organisasi Departemen Hankam yang sehat, diletakkan dalam Keputusan Presiden No. 132 tahun 1967.

Dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 132 tahun 1967 adalah untuk menertibkan pembagian fungsional Angkatan. Pemegang kekuasaan tertinggi ABRI dan pucuk pimpinan Hankamnas adalah Presiden dibantu oleh Menhankam/Pangab. Rantai Komando berjalan dari Presiden dengan melalui Menhankam/Pangab. Masing-masing angkatan mempunyai tugas penyelenggaraan dan pembinaan Hankamnas, menurut matranya masing-masing. Dan setiap Angkatan adalah bagian organik daripada Dephankam, bertanggung jawab untuk memberikan bantuannya dalam penyelenggaraan dan pengamanan kebijaksanaan dalam bidang Hankam.

Sesuai dengan Keppres No. 132/1967, maka ABRI terdiri atas :

  1. Angkatan Darat disingkat AD;
  2. Angkatan Laut disingkat AL;
  3. Angkatan Udara disingkat AU;
  4. Angkatan Kepolisian disingkat AK.

Keputusan Presiden No. 132/1967 kemudian disempurnakan dengan Keputusan Presiden No. 879 tahun 1969. Tujuan daripada penyempurnaan ini adalah agar pada akhir tahun 1973 telah didapat landasan dan pangkal tolak

9

yang pokok bagi pembangunan sistem Hankamnas dan ABRI agar dalam waktu yang tidak terlalu lama telah dapat dimiliki suatu sistem Hankamnas yang modern, baik doktrin maupun aparatnya.

C. Langkah-langkah Pertama Pembangunan ABRI

Selama Pelita I (1968-1973) pemerintah belum mampu untuk membangun sektor Hankam/ABRI dan kalaupun ada pembangunan di sektor tersebut adalah sangat terbatas sekali.

Kegiatan pembangunan ABRI baru pada Pelita II (1974-1979). Tersusun dalam program Rencana Strategis Hankam I (Renstra Hankam I), yang pelaksanaannya dijadualkan dari tahun ketahun sesuai dengan anggaran belanja yang diperoleh Departemen Hankam.

Renstra Hankam II mencakup periode 1979/1984, bertujuan mewujudkan landasan kuat untuk meningkatkan pembangunan.

Ada 4 kebijkaan Pertahanan Keamanan Nasional (Hankamnas) yang telah digariskan, yang meliputi :

a. Kepentingan Hankamnas adalah keamanan jalannya pembangunan nasional.

b. Tujuan Hankamnas adalah menjamin keamanan dalam negeri dan turut serta memelihara perdamaian dunia, khususnya di kawasan Asia Tenggara.

c. Kebijaksanaan Hankamnas adalah mencegah dan menangkal ganggguan terhadap keamanan, perang dalam berbagai bentuk yang mungkin

10

dilaksanakan terhadap Indonesia, termasuk perang terbatas. Apabila penangkalan tidak berhasil mengatasi gangguan terhadap keamanan dalam negeri, menghalau atau menghancurkan musuh dengan mendasarkan pada kemampuan sendiri.

d. Strategi Hankamnas yang ditempuh adalah membangun kemampuan keamanan rakyat semesta dengan meniadakan kerawanannya dengan membangun Angkatan Perang dengan kekuatan siap yang kecil dan cadangan yang cukup serta Kepolisian RI yang cukup.

Tujuan Pembangunan Hankamnas adalah pertama-tama mewujudkan daya-tangkal, yaitu kekuatan yang memberikan keyakinan kepada setiap pihak yang mempunyai maksud-maksud memusuhi negara dan Bangsa Indonesia dan merencanakan melakukan agresi dengan cara apapun juga, bahwa ia tidak akan dapat mencapai tujuan atau maksudnya.

11

DAFTAR PUSTAKA

Hassan Masdoeki, 1997. Kamus Populer Ilmu Pengetahuan. Jakarta : Pustaka Amani.

Marwati Djoened P, dkk. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta : Balai Pustaka.

Sabtu, 19 Desember 2009

BAB II

BAB II

PEMBAHASAN

A. Awal Gerakan G. 30 S/PKI

Sebagaimana telah dikemukakan pada bab pendahuluan, bahwa sampai dengan tahun 1965 PKI mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat. Dan Aidit sendiri pernah mengemukakan dengan lantang betapa kuatnya PKI pada tahun 1965. (Moedjanto, 1993 : 142)

Pada awal tahun 1965 tersiar kabar bahwa para perwira tinggi Angkatan Darat membentuk “Dewan Jenderal”. Dewan Jenderal hanyalah merupakan kelompok penasehat yang terdiri dari para Jenderal dan tugasnya ialah memberi rekomendasi kepada pimpinan AD tentang kenaikan kolonel menjadi Jenderal. Tetapi Dewan Jenderal itu ditafsirkan oleh PKI sebagai badan yang mempersiapkan perebutan kekuasaan dari presiden Soekarno. (Moedjanto, 1993 : 140)

Bersamaan dengan penyebarluasan isu “Dewan Jenderal”, tersiar pula isu adanya “Dokumen Gilchrist”. Gilchrist, yang nama lengkapnya adalah Sir Andrew Gilchrist adalah Duta Besar Inggris di Jakarta yang bertugas pada tahun 1963-1966. Dokumen tersebut merupakan sebuah surat yang diketik oleh Duta Besar Inggris yang ditujukan kepada Sekjen Kementrian Luar Negeri Inggris, yang memuat laporan mengenai koordinasinya dengan Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta dalam

menangani situasi di Indonesia. Di dalam surat tersebut tertulis kata-kata our local army friend, yang memberi kesan seolah-olah ada kerja sama antara unsur-unsur TNI-AD dengan Inggris, yang pada waktu itu dikategorikan sebagai salah satu kekuatan Nekolim. Dokumen tersebut jatuh ketangan Dr. Soebandrio, dalam kedudukannya sebagai kepala BPI (Badan Pusat Inteligen). Setelah presiden Soekarno menerima dua isu tersebut, maka beliau memanggil letjen Ahmad Yani dan kawan-kawan. Ahmad Yani mengadakan bahwa kedua isu tersebut tidak benar. Dengan telah dilakukannya pertemuan tersebut, Ahmad Yani dan kawan-kawan mengganggap permasalahan telah selesai. Namun kenyataannya tidak demikian, karena Dr. Soebandrio telah memperbanyak dokumen tersebut hingga tersebar sampai keluar negeri. (Sekretariat Negara RI, 1994 : 64-65)

Setelah mempelajari isu Dewan Jenderal dan Dokumen Gilchrist, PKI lalu membentuk gerakan tandingan yang dinamai Dewan Revolusi yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung. Setelah Dewan Revolusi berdiri, maka disusunlah rencana untuk mendahului tindakan Dewan Jenderal, yang menurut informasi yang mereka dengar akan menyelenggarakan coup pada tanggal 5 Oktober 1965 bersamaan dengan penyelenggaraan HUT ABRI. (Moedjanto, 1993 : 140)

B. Proses Terjadinya G. 30 S/PKI

Pada hari Kamis malam, tanggal 30 September 1965 PKI mulai melancarkan gerakan perebutan kekuasaan dengan nama Gerakan 30 September atau kemudian dikenal dengan G. 30 S/PKI.

Gerakan secara fisik/militer dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung Sutopo, Komandan Batalyon Cakrabirawa, yaitu pasukan pengawal Presiden, dan mulai bergerak dini hari tanggal 1 Oktober 1965. Enam orang perwira tinggi dan seorang perwira pertama Angkatan Darat dibunuh dan/atau diculik dari tempat kediaman masing-masing. Mereka yang diculik kemudian dibunuh secara kejam oleh anggota Pemuda Rakyat, Gerwani, dan lain-lain ormas PKI yang telah menunggu di Lubang Buaya, sebuah desa yang terletak di sebelah selatan Pangkalan Udara Utama (Lanuma) Halim Perdanakusumah, Jakarta. Bersama-sama dengan para korban lainnya yang telah dibunuh di tempat kediaman mereka, jenazah dimasukkan ke dalam sebuah lubang sumur tua di desa tersebut. (Sekretariat Negara RI, 1986 : 43)

Yang berhasil diculik dan dibunuh dengan kejam ialah Jenderal Ahmad Yani (Panglima AD), dan pembantu-pembantunya jendral-jenderal : Suprapto, Haryono, S. Parman, Panjaitan, dan Sutoyo. Jenderal Nasution, Kepala Staf ABRI, dapat menyelamatkan diri dengan cedera ringan dikakinya, meskipun harus merelakan puteri kesayangannya yang bernama Ade Irma Suryani. Dalam percobaan coup tersebut juga terbunuh seorang

perwira lain Kapten Pierre Tendean (AD) dan Brigadir Karel Satsuit Tubun (Polri). Penculikan dan pembunuhan semacam itu juga terjadi di Yogyakarta atas diri Kolonel Katamso dan Letkol Sugiyono, masing-masing Komandan dan Kastaf Resimen o72 Pamungkas. Para korban itu kemudian dikenal sebagai pahlawan Revolusi. (Moedjanto, 1993 : 141)

C. Akhir Gerakan G. 30 S/PKI

Pembunuhan yang dilakukan oleh PKI terhadap Pimpinan TNI-AD dalam tahun 1965 itu bukanlah merupakan tujuan akhir mereka. Pembunuhan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan pembentukan Dewan Revolusi sebagai sarana untuk mewujudkan Front Persatuan Nasional yang berada dalam pengaruh PKI. (Sekretariat Negara RI, 1994 : 170)

Pada tanggal 1 Oktober 1965, PKI menguasai berbagai alat vita pemerintah seperti RRI dan sebagainya. Mereka juga mengumumkan lewat RRI tentang keberhasilan Dewan Revolusi melawan Dewan Jenderal.

Menyadari adanya kekosongan pimpinan AD waktu itu, Mayor Jenderal Suharto, Pangkostrad waktu itu, memimpin gerakan balasan. Dalam tempo hanya satu hari kekuatan PKI di Jakarta sudah cerai-berai. Sudah sejak awal dapat diketahui kalau gerakan Dewan Revolusi yang dibentuk Gerakan 30 September didalangi oleh PKI. Hal itu menjadi lebih jelas setelah pengadilan atas tokoh-tokoh PKI dilakukan; dalam pengadilan

itu antara lain terungkap pengakuan Sudisman, salah seorang anggota Sentral Komite PKI, yang memperkuat keyakinan bahwa PKI bertanggung Jawab atas meletusnya G. 30 S/PKI. (Moedjanto, 1993 : 142)

makalh SNI 7 BAB 1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965 merupakan usaha yang kedua kalinya yang dilakukan oleh PKI dalam rangka merebut kekuasaan pemerintahan, setelah gagalnya pemberontakan PKI di Madiun 1948.

Pemberontakan PKI tahun 1965 berakibat dilarangnya partai tersebut dan diadilinya beberapa tokoh yang terlibat. Sementara pemberontakan PKI tahun 1948 tidak diikuti dengan larangan atas partai itu, walaupun Muso selaku pimpinannya ditembak mati. Dengan kata lain ,PKI pada tahun 1948 tidak pernah diadili karena pemberontakannya. Moedjanto (1993 : 133) menuturkan sebab-sebabnya sebagai berikut :

1) Tiga bulan sesudah pemberontakan meletus, pecahlah Agresi Militer Belanda II. Anggota PKI yang belum tertangkap berjuang melawan Belanda. Atas perjuangan mereka dosa-dosa PKI dimaafkan.

2) RI adalah negara demokrasi, karena itu kebebasan berserikat dijamin.

3) PKI sangat berpengaruh di kalangan kaum buruh yang banyak bekerja pada perusahaan Belanda. Dengan membiarkan PKI hidup maka perusahaan-perusahaan Belanda itu akan lebih mudah dikontrol.

Seiring dengan berjalannya pemerintahan Republik Indonesia yang semakin dewasa, semakin berkembang pula kedudukan PKI. Dalam pemilu

yang pertama tahun 1955, PKI termasuk ke dalam empat partai besar yang memperoleh 39 kursi. Tiga partai lainnya adalah Masyumi (57 kursi), PNI (57 kursi), dan NU (45 kursi). Sementara itu, 24 partai lainnya hanya mendapatkan satu, atau dua kursi saja, bahkan ada yang tidak mendapatkan kursi sama sekali. (Syahbuddin Mangandaralam, 1988 : 73)

Semenjak tahun 1951 pimpinan PKI jatuh ke tangan tokoh-tokoh muda seperti Dipa Nusantara Aidit (D.N. Aidit), Nyono, dan kawan-kawan. Pimpinan baru ini melaksanakan strategi perjuangan baru yakni Front Persatuan Nasional. Strategi ini mengharuskan PKI menerima kerjasama dengan partai-partai lain, termasuk PNI dan Bung Karno. Strategi mereka berhasil dan sampai dengan awal tahun 1965 mereka mengalami perkembangan yang pesat. Disamping perkembangan kuantitatif yang mengagumkan, organisasi PKI tersusun rapi, disiplinnya kuat dan bersih dari berbagai skandal (korupsi, dan sebagainya). (Moedjanto, 1993 : 134)

Sakitnya presiden Soekarno di tahun 1965 menyebabkan Aidit dan kawan-kawan PKI-nya merencanakan perebutan kekuasaan, agar tidak didahului oleh yang lain. Aristides Katoppo (1990 : 113) menuturkan :

Pada waktu pemakaman jenazah Bung Karno, Dr. Siwabessy (dokter pribadi Bung Karno sejak dulu) berkata kepada A.H. Nasution, “Kalau Aidit bertanya lebih dulu kepada saya tentang sakitnya Bung Karno (Agustus 1965) tentu saya akan beritahu, bahwa body-nya kuat, tidak akan segera lumpuh atau meninggal. Sehingga ia tidak perlu menggerakkan kup G. 30 S. Lihat, bagaimanapun juga, Bung Karno masih hidup sampai tahun 1970. Aidit hanya menerima pendapat dari dokter-dokter RRC”.

Untuk mengetahui peristiwa Gerakan 30 September 1965, maka kami membahas makalah yang diberi judul : “PENGKHIANATAN G. 30 S/PKI”.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Masalah-masalah yang menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini, kami rumuskan dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana proses awal terjadinya Gerakan G. 30 S/PKI ?

2. Bagaimana proses terjadinya Gerakan G. 30 S/PKI ?

3. Bagaimana akhir dari Gerakan G. 30 S/PKI ?

Untuk menghindari melebarnya permasalahan maka pembahasan dibatasi untuk kurun waktu (1965-1966).

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui proses awal terjadinya Gerakan G. 30 S/PKI.

2. Untuk mengetahui proses terjadinya Gerakan G. 30 S/PKI.

3. Untuk mengetahui akhir dari Gerakan G. 30 S/PKI.

D. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan oleh penyusun adalah metode Sejarah. Moh. Nazir (1988 : 56) mengemukakan pendapatnya tentang metode ini sebagai berikut :

Metode Sejarah merupakan suatu usaha untuk memberikan interpretasi dari bagian trend yang naik turun dari suatu status keadaan di masa lampau untuk memperoleh suatu generalisasi yang berguna untuk memahami kenyataan sejarah, membandingkan dengan keadaan sekarang dan dapat meramalkan keadaan yang akan datang.

Tujuan dari penelitian dengan menggunakan metode sejarah adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara objektif dan sistematis dengan mengumpulkan, mengevaluasikan serta menjelaskan dan mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan menarik kesimpulan yang tepat.

Adapun teknik pengumpulan datanya adalah melalui kajian pustaka atau studi literatur, dengan cara mengumpulkan buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan, membaca, menelaah, menyeleksi, dan menuangkannya ke dalam makalah.

Metode Sejarah atau metode historis ini mengandung empat langkah penting seperti yang diungkapkan oleh Ismaun (1992 : 125-131) sebagai berikut :

1. Heuristik.

Tahap ini merupakan langkah awal bagi penulis dalam proses mencari dan mengumpulkan bahan-bahan informasi yang diperlukan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian skripsi ini.

2. Kritik.

Kritik sejarah adalah penilaian secara kritis terhadap data dan fakta sejarah yang ada. Data dan fakta sejarah yang telah diproses melalui kritik sejarah ini disebut bukti sejarah. Bukti sejarah adalah kumpulan fakta-fakta dan informasi yang sudah divalidasi, yang dipandang terpercaya sebagai dasar yang baik untuk menguji dan menginterpretasi suatu permasalahan.

3. Interpretasi.

Pada tahap ini, penulis mengadakan interpretasi (penafsiran) dan analisis terhadap data dan fakta yang terkumpul. Prosedur ini dilakukan dengan mencari data dan fakta, menghubungkan berbagai data dan fakta serta membuat tafsirannya.

4. Historiografi.

Setelah melakukan tahap-tahap dalam metode sejarah yaitu mengumpulkan data, kritik data dan interpretasi maka sebagai tahap terakhir dari metode sejarah adalah penulisan sejarah.

E. Sistematika Pembahasan

Makalah ini disusun dalam 4 (Empat) bab, dengan sistematika pembahasan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan penulisan, metode dan teknik pengumpulan data, dan sistematika pembahasan.

BAB II PEMBAHASAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai awal, proses, dan akhir Gerakan G. 30 S/PKI.

BAB III ANALISA PASCA REFORMASI 1998

Dalam bab ini dikemukakan beberapa temuan (versi) dalang G. 30 S/PKI.

BAB IV PENUTUP

Berisi harapan kepada Generasi penerus untuk dapat mengambil hikmah dari peristiwa G. 30 S/PKI.