Sabtu, 19 Desember 2009

BAB II

BAB II

PEMBAHASAN

A. Awal Gerakan G. 30 S/PKI

Sebagaimana telah dikemukakan pada bab pendahuluan, bahwa sampai dengan tahun 1965 PKI mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat. Dan Aidit sendiri pernah mengemukakan dengan lantang betapa kuatnya PKI pada tahun 1965. (Moedjanto, 1993 : 142)

Pada awal tahun 1965 tersiar kabar bahwa para perwira tinggi Angkatan Darat membentuk “Dewan Jenderal”. Dewan Jenderal hanyalah merupakan kelompok penasehat yang terdiri dari para Jenderal dan tugasnya ialah memberi rekomendasi kepada pimpinan AD tentang kenaikan kolonel menjadi Jenderal. Tetapi Dewan Jenderal itu ditafsirkan oleh PKI sebagai badan yang mempersiapkan perebutan kekuasaan dari presiden Soekarno. (Moedjanto, 1993 : 140)

Bersamaan dengan penyebarluasan isu “Dewan Jenderal”, tersiar pula isu adanya “Dokumen Gilchrist”. Gilchrist, yang nama lengkapnya adalah Sir Andrew Gilchrist adalah Duta Besar Inggris di Jakarta yang bertugas pada tahun 1963-1966. Dokumen tersebut merupakan sebuah surat yang diketik oleh Duta Besar Inggris yang ditujukan kepada Sekjen Kementrian Luar Negeri Inggris, yang memuat laporan mengenai koordinasinya dengan Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta dalam

menangani situasi di Indonesia. Di dalam surat tersebut tertulis kata-kata our local army friend, yang memberi kesan seolah-olah ada kerja sama antara unsur-unsur TNI-AD dengan Inggris, yang pada waktu itu dikategorikan sebagai salah satu kekuatan Nekolim. Dokumen tersebut jatuh ketangan Dr. Soebandrio, dalam kedudukannya sebagai kepala BPI (Badan Pusat Inteligen). Setelah presiden Soekarno menerima dua isu tersebut, maka beliau memanggil letjen Ahmad Yani dan kawan-kawan. Ahmad Yani mengadakan bahwa kedua isu tersebut tidak benar. Dengan telah dilakukannya pertemuan tersebut, Ahmad Yani dan kawan-kawan mengganggap permasalahan telah selesai. Namun kenyataannya tidak demikian, karena Dr. Soebandrio telah memperbanyak dokumen tersebut hingga tersebar sampai keluar negeri. (Sekretariat Negara RI, 1994 : 64-65)

Setelah mempelajari isu Dewan Jenderal dan Dokumen Gilchrist, PKI lalu membentuk gerakan tandingan yang dinamai Dewan Revolusi yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung. Setelah Dewan Revolusi berdiri, maka disusunlah rencana untuk mendahului tindakan Dewan Jenderal, yang menurut informasi yang mereka dengar akan menyelenggarakan coup pada tanggal 5 Oktober 1965 bersamaan dengan penyelenggaraan HUT ABRI. (Moedjanto, 1993 : 140)

B. Proses Terjadinya G. 30 S/PKI

Pada hari Kamis malam, tanggal 30 September 1965 PKI mulai melancarkan gerakan perebutan kekuasaan dengan nama Gerakan 30 September atau kemudian dikenal dengan G. 30 S/PKI.

Gerakan secara fisik/militer dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung Sutopo, Komandan Batalyon Cakrabirawa, yaitu pasukan pengawal Presiden, dan mulai bergerak dini hari tanggal 1 Oktober 1965. Enam orang perwira tinggi dan seorang perwira pertama Angkatan Darat dibunuh dan/atau diculik dari tempat kediaman masing-masing. Mereka yang diculik kemudian dibunuh secara kejam oleh anggota Pemuda Rakyat, Gerwani, dan lain-lain ormas PKI yang telah menunggu di Lubang Buaya, sebuah desa yang terletak di sebelah selatan Pangkalan Udara Utama (Lanuma) Halim Perdanakusumah, Jakarta. Bersama-sama dengan para korban lainnya yang telah dibunuh di tempat kediaman mereka, jenazah dimasukkan ke dalam sebuah lubang sumur tua di desa tersebut. (Sekretariat Negara RI, 1986 : 43)

Yang berhasil diculik dan dibunuh dengan kejam ialah Jenderal Ahmad Yani (Panglima AD), dan pembantu-pembantunya jendral-jenderal : Suprapto, Haryono, S. Parman, Panjaitan, dan Sutoyo. Jenderal Nasution, Kepala Staf ABRI, dapat menyelamatkan diri dengan cedera ringan dikakinya, meskipun harus merelakan puteri kesayangannya yang bernama Ade Irma Suryani. Dalam percobaan coup tersebut juga terbunuh seorang

perwira lain Kapten Pierre Tendean (AD) dan Brigadir Karel Satsuit Tubun (Polri). Penculikan dan pembunuhan semacam itu juga terjadi di Yogyakarta atas diri Kolonel Katamso dan Letkol Sugiyono, masing-masing Komandan dan Kastaf Resimen o72 Pamungkas. Para korban itu kemudian dikenal sebagai pahlawan Revolusi. (Moedjanto, 1993 : 141)

C. Akhir Gerakan G. 30 S/PKI

Pembunuhan yang dilakukan oleh PKI terhadap Pimpinan TNI-AD dalam tahun 1965 itu bukanlah merupakan tujuan akhir mereka. Pembunuhan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan pembentukan Dewan Revolusi sebagai sarana untuk mewujudkan Front Persatuan Nasional yang berada dalam pengaruh PKI. (Sekretariat Negara RI, 1994 : 170)

Pada tanggal 1 Oktober 1965, PKI menguasai berbagai alat vita pemerintah seperti RRI dan sebagainya. Mereka juga mengumumkan lewat RRI tentang keberhasilan Dewan Revolusi melawan Dewan Jenderal.

Menyadari adanya kekosongan pimpinan AD waktu itu, Mayor Jenderal Suharto, Pangkostrad waktu itu, memimpin gerakan balasan. Dalam tempo hanya satu hari kekuatan PKI di Jakarta sudah cerai-berai. Sudah sejak awal dapat diketahui kalau gerakan Dewan Revolusi yang dibentuk Gerakan 30 September didalangi oleh PKI. Hal itu menjadi lebih jelas setelah pengadilan atas tokoh-tokoh PKI dilakukan; dalam pengadilan

itu antara lain terungkap pengakuan Sudisman, salah seorang anggota Sentral Komite PKI, yang memperkuat keyakinan bahwa PKI bertanggung Jawab atas meletusnya G. 30 S/PKI. (Moedjanto, 1993 : 142)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar